SmartNewsCelebes.Com, Jakarta – Pengamat Politik Jamiluddin Ritonga menilai maraknya kasus korupsi disebabkan beberapa faktor yang terjadi di dalam internal partai politik.

“Tentu banyak penyebab tetap maraknya korupsi politik, apalagi tertangkapnya dua menteri dan beberapa pemimpin daerah mengindikasikan hal itu,” kata Dosen Universitas Esa Unggul itu dilansir Pojoksatu.id di Jakarta, Rabu (9/12/2020).

Pertama, pola manajemen sentralistik yang diterapkan partai politik dalam menentukan pasangan calon (paslon) yang akan diusung dalam pilkada.

Menurutnya pola tersebut membuat birokrasi menjadi panjang dan cost politik tinggi, akibatnya dari pola manajemen sentralistik, calon yang diajukan dari bawah kerapkali tidak diakomodir oleh pengurus partai di pusat (DPP).

Sehingga, lanjut Jamiluddin, paslon yang diusung tidak dikehendaki arus bawah dan kadangkala kualitasnya juga diragukan.

“Pola demikian dimanfaatkan paslon untuk memberi transaksional dengan menawarkan mahar politik yang lebih besar. Hal ini memberi ruang korupsi politik semakin kuat. Akibatnya, paslon yang direkomendasi semakin jauh dari yang diharapkan arus bawah,” terangnya.

Kemudian, kata Dosen pengajar Isu Krisis dan Manajemen itu, menguatnya politik pragmatis, terutama dari paslon yang membutuhkan kenderaan politik.

“Para paslon akan mengeluarkan segala sumber dayanya untuk
mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Ini membuat cost politik untuk mendapatkan rekomendasi semakin besar,” tuturnya.

“Terakhir, sebagian pemilih pada tataran grassroot kerap memilih paslon yang dermawan memberi uang. Situasi demikian dimanfaatkan paslon dengan mengintensifkan politik uang,” sambungnya.

Atas dasar tersebutlah, ungkap Jamiluddin, penyebab semuanya dapat meningkatkan korupsi politik dan membuat cost politik semakin mahal.

“Cost politik yang besar inilah yang mendorong paslon setelah memenangkan pilkada akan berpeluang menjadi koruptif,”

Kendati demikian, untuk mengatasi maraknya kasus korupsi, tentu sistem sentralistik di partai politik harus diubah menjadi desentralisasi.

Karena itu, untuk paslon bupati/walikota sebaiknya diberi kewenangan penuh kepada Dewan Pimpinan Cabang (DPC).

Sementara itu, paslon gubernur diserahkan kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan untuk calon presiden menjadi kewenangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Selain itu, pengawasan politik uang harus diperketat. Bawaslu harus diberi kewenangan lebih besar agar dapat melakukan tindakan.

“Bawaslu diberi kewenangan seperti KPK, sehingga dapat memutus kasus politik uang dan pelanggaran lainnya lebih otonom,” pungkasnya. (Pjks/smart)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here