Penulis: Muhammad Surya Gemilang

SAMARTNEWSCELEBES.COM – Institusi peradilan sejatinya merupakan institusi yang sarat akan kewibawaan. Sebab, tugas dan fungsi pokok salah satunya adalah the guardian of the justice.
Sejalan dengan hal tersebut, maka segala tindakan yang berpotensi untuk melemahkan atau bahkan mencoreng bagian dari institusi peradilan harus diminimalkan agar tidak berpotensi menjatuhkan wibawa dan martabatnya. 
Salah satu contoh perbuatan merendahkan martabat institusi peradilan adalah perbuatan merendahkan kehormatan hakim.
Dalam upaya lebih lanjut memahami secara mendalam mengenai perbuatan merendahkan kehormatan hakim (PMKH), setidaknya ada 2 kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu Hakim dan Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim (Selanjutnya akan disebut PMKH).
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 
Mengadili yang dimaksud berupa serangkaian tindakan yang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan, PMKH adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Ancaman terhadap kehormatan hakim tersebut dapat berupa ancaman verbal maupun non verbal (fisik).
Hakim merupakan profesi yang memiliki resiko ancaman yang besar. Karena dalam kehidupan bernegara, Hakim dipandang dan ditunjuk sebagai pihak terakhir yang berwenang memutuskan dan memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh masyarakat.
Seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan seseorang bahkan menentukan kehidupan seseorang.
Pada akhirnya, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan, Hakim akan menjadi sasaran luapan kekesalan.
Menurut penulis, ada beberapa sebab mengapa masih terjadi tindakan penyerangan terhadap kehormatan martabat hakim.
Rendahnya bentuk penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Sehingga Perlu disadari bahwa, keberadaan hukum tidak serta-merta diakui dan dihormati oleh seluruh masyarakat yang.
Ketaatan terhadap hukum yang mereka lakukan bukan karena mereka menyetujui hukum yang berlaku. Melainkan sikap menolaknya tidak dinyatakan terbuka.
Sikap inilah yang mendorong lahirnya perilaku-perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum salah satunya  adanya tindakan merendahkan martabat hakim, mengacaukan proses persidangan dan lain sebagainya.
Selain itu, ketika seseorang melakukan kesalahan dan dituntut untuk bertanggung jawab namun mereka tidak mampu memberikannya, mereka akan tertekan.
Akibat tekanan ini, mereka akan mencari cara untuk “melepaskan diri” dari jerat hukum yang ada, atau setidak-tidaknya meluapkan emosi yang dipendam. Ketika jalur “formal” tidak lagi memihak pada diri terdakwa, maka “sifat alamiah” mereka akan mengupayakan berbagai cara agar mereka dapat melepaskan dirinya dari tuntutan termasuk melakukan kekerasan.
Atau ketika permintaan mereka tidak didengar, maka aksi-aksi tersebut terjadi. Agar permintaan mereka dipenuhi.
Bentuk perlawanan juga seringkali dilakukan oleh pihak-pihak yang dirasa memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan lembaga peradilan itu sendiri. Kekuatan yang dimaksud dapat berupa jabatan, kekayaan atau jumlah massa yang dimiliki.
Dengan menyadari memiliki kekuatan, pihak-pihak ini akan melakukan perlawanan apabila putusan tidak sesuai yang diharapkan.
Jika ditarik ke akar, maka penyebabnya adalah krisis kepercayaan terhadap hukum dan hakim itu sendiri.
Namun perlu diperhatikan pula, bahwa segala tindakan PMKH (walaupun atas dasar memperjuangkan keadilan) tidaklah dapat dibenarkan.
Menurut ketentuan pidana, pelaku PMKH dapat dijerat dengan pidana penjara sesuai ketentuan yang diatur dalam pasal 207, 212, 217, 224 dan 351 KUHP. Jika halnya perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang menjalani profesi tertentu, maka hukuman bagi pelaku dapat ditambah sesuai dengan sanksi yang berlaku berdasarkan ketentuan kode etik profesinya.
Sehingga pada dasarnya PMKH menjadi ruang utama bagi jatuhnya wibawa institusi peradilan yang mesti dipersempit agar tidak menjadi jembatan bagi terciptanya zona destruktif dalam menjaga marwah dan kewibawaan Lembaga peradilan termasuk unsur-unsur yang ada di dalamnya. (rls)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here