
Oleh Lilis Suryani Atjo.
SMARTNEWSCELEBES.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem memicu diskursus publik yang signifikan. Pokok gugatan berkaitan dengan model keserentakan pemilu dan bagaimana ia dijalankan sesuai prinsip sistem presidensial dalam konstitusi Indonesia. Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah Mahkamah Konstitusi masih berada dalam koridor sebagai “negative legislator”?
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Posisi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai penafsir akhir konstitusi, namun bukan pembentuk norma baru (positive legislator). Dalam konteks Putusan 135/PUU-XXI/2023, muncul pertanyaan apakah MK telah melampaui batas tafsir menjadi pembentuk norma baru?
Putusan ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan lanjutan dari Putusan MK 14/PUU-XI/2013, yang mengusulkan enam model keserentakan pemilu.dan Putusan MK 55/PUU-XVII/2019: yang menekankan pentingnya keserentakan pemilu nasional untuk menjaga sistem presidensial tetap seimbang.
Substansi Putusan 135/PUU-XXI/2023 bahwa “Pemilu nasional (Presiden, DPR, dan DPD) tetap diselenggarakan secara serentak. Namun pemilu daerah (DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Pilkada) dipisahkan pelaksanaannya.
Implikasi dari pemisahan ini menimbulkan perdebatan karena berbenturan dengan makna Pasal 22E UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan DPRD.
Pertanyaan pun muncul: apakah pemisahan ini berarti mengubah makna konstitusi secara substantif?
MK dalam amar Putusan 135/PUU-XXI/2023 yang dibacakan agar pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) tetap serentak, tetapi pemilu daerah (DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Pilkada) dipisahkan pelaksanaannya. Hal ini justru berdampak pada potensi inkonstitusionalitas terhadap Pasal 22E UUD 1945, karena pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian dari pemilu nasional. Ketika pelaksanaannya dipisahkan, maka secara implisit dapat dipandang sebagai bentuk perubahan terhadap konstitusi, namun kewenangan MK dalam membentuk sebuah norma bukan hal yang dipolemikkan sebagaimana Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, menyampaikan:
“Antara pembuat pasal dan yang membatalkan, di satu pihak membuat dan di pihak lain mencabut, keduanya adalah Legislator, karena Ketika ada satu kata dalam satu pasal dicoret, itu muncul norma baru dan dirumuskan dalam ratio recidendi”(@hukumonlinenewsroom)
Kendati Mahkamah konstitusi berkewenangan melakukan judicial review tidak berarti bahwa pasal dalam Undang undang yang bertentangan dengan konstitusi dan konstitusinya harus dicabut, judicial review pada putusan ini adalah pencabuatn pasal keserentakan dalam Undang undang 7 Tahun 2017 tetapi tidak sampai bertentangan dengan ketentuan pasal 22 E dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, pandangan Prof Jimly soal pencabutan salah satu pasal dalam undang undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sesuai Amanah pasal 24 C dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi norma baru dimaksud dalam putusan 135/PUU-XXI/2023 ini menimbulkan implikasi administratif dan hukum yang luas, karena potensi terhadap perubahan pasal dalam Undang Undang Dasar jika pemilu anggota DPRD Prov dan Kab kota secara nasional yang awalnya tergabung dalam pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta DPD lalu akhirnya dipisahkan ke dalam pemilihan tingkat daerah.
Pemisahan pemilu dari sisi anggaran tentu tidak efektif , tahapan penyelenggaraan jadwal pemilu serta pengisian jabatan sementara selama dua tahuan atau dua tahun atau dua tahun enam bulan sejumlah 551(lima ratus lima puluh)orang penjabat, dengan rincian untuk 38 (tiga puluh delapan)orang Gubernur, 97(sembilan puluh tujuh)orang Wali Kota dan 416(empat ratus enambelas) orang Bupati.
Selain penunjukan penjabat tersebut, timbul pula opsi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Hal ini menyangkut legitimasi politik, kepastian hukum, serta keberlanjutan tata kelola pemerintahan daerah yang demokratis dan konstitusional.
Putusan MK 135/PUU-XXI/2023 secara normatif bertujuan untuk menyederhanakan tahapan pemilu dan meningkatkan kualitas demokrasi substantif. Berdasarkan akmulasi evaluatif terhadap penyelenggaran sebelumnya Namun dalam praktiknya, sekaligus merubah ketatanegaraan secara signifikan, baik dari sisi waktu, mekanisme, maupun legitimasi.
Penentu kebijakan perlu menindaklanjuti putusan ini dengan kehati-hatian melalui revisi UU Pemilu dan Pilkada yang konsisten dengan prinsip-prinsip konstitusional. Jika tidak, akan terjadi tumpang tindih antara logika hukum dan logika politik, serta menciptakan ketidakpastian dalam sistem demokrasi kita
Pemisahan pemilu dalam putusan ini berorientasi pada:
Pengharmonisasian antara UU No. 7 Tahun 2017 dan UUD 1945.
Menuntut harmonisasi ulang sistem kepemiluan nasional.
Amandemen ke-V UUD 1945, khususnya Pasal 22E.
Sebagian pakar, seperti Zainal Arifin Mochtar, menyambut positif putusan ini sebagai dasar untuk menyusun desain pemilu yang lebih baik agar lebih demokratis dan berkualitas. Namun demikian, kritik terhadap potensi inkonstitusionalitas tak bisa diabaikan.”.(https//parade.id)
Putusan ini juga memperlihatkan sebuah ketegasan Mahkamah terhadap putusan sebelumnya namun tidak hanya konsistensi terhadap tawaran sistem pemilu untuk merubah beberapa ketentuan dalam Undang undang nomor tahun7 Tahun 2017 tetapi bagaimana Konstitusi searah dengan kebijakan yang akan menjadi produk legiaslator(policy making domain) dengan Konstitusi yang telah ada.