SMARTNEWSCELEBES.COM – Supardi alias Adi adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani, mantan algojo pada era penumpasan G30 S PKI. Namun, karena guncangan kejiwaan yang dialaminya, Adi terpaksa meringkuk di pasungan selama puluhan tahun.
Menurut keterangan Kusnoto, sahabatnya, Adi menjadi sosok yang mudah mengamuk tanpa diketahui alasannya. Jika sudah kalap, membuat warga Desa Podorejo, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, itu seperti kehilangan akal.
“Karena badannya yang tinggi besar dan dikhawatirkan membahayakan orang lain, kerabat dan teman memutuskan untuk dipasung,” terang Kusnoto kepada wartawan pada 2011 lalu.
Karena kondisi itu Adi akhirnya ditempatkan di “rumah baru”, tak jauh dari rumah yang ditempati keluarganya. Bangunan itu hanya berupa empat tiang kayu, dengan selembar terpal usang yang berfungsi sebagai atap pelindung panas dan hujan.
Pihak keluarga sengaja menempatkan Adi di sana. Sengaja disembunyikan agar orang lain yang bertandang tidak mudah mengetahuinya.
“Tentunya penyakit seperti ini sama dengan aib,“ terang Kusnoto.
Sebagai tokoh yang pernah memimpin penumpasan pemberontakan G 30 S PKI 1965, nasib Adi bisa dikatakan tragis. Dia dipasung layaknya pesakitan, dengan rantai pergelangan sebelah kakinya kuat-kuat, hingga berbekas di permukaan kulit.
Ujung rantai sepanjang 5 meter itu tertanam di lantai gubuk membuat gerak hidup Adi hanya sebatas panjang rantai tersebut. Meski dalam keadaan terbelenggu, dia masih bisa merebus air untuk membuat kopi bagi dirinya sendiri.
“Sebelumnya ia sempat juga dipasung. Namun karena pasung itu membuatnya rebah tak berdaya maka diganti dengan rantai besi, “terang Kusnoto yang juga tetangga Adi.
Guncangan jiwa yang mengubah Adi terjadi paska tragedi kemanusiaan Gestapu. Usai menjalankan tugas sebagai algojo pencabut nyawa orang-orang yang dianggap antek dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Adi merantau ke Palembang Sumatera Selatan. Bersama beberapa rekan yang juga berasal dari satu desa, ia membuka hutan.
Hampir seluruh pepohonan yang berada pada jarak pandangnya ia tebangi. Ia bersihkan semak, onak dan duri yang dianggap menghalangi. Adi tengah menyiapkan lahan yang luas untuk perkebunan kopi. Rencananya ia akan menetap disana sebagai pengusaha kopi.
“Tujuh tahun kami hidup bersama di Palembang, “papar Kusnoto.
Gejala aneh mulai terlihat ketika Adi mengeluh jika dirinya selalu diikuti bulan. Kemanapun dia pergi, satelit bumi itu selalu mengikuti langkahnya.
Itu yang membuatnya gelisah dan selalu mondar mandir setiap malam. Katanya dia tengah menghindari bulan yang terus mengikutinya,“ terang Kusnoto.
Pada saat bersamaan malaria tropis menyerang. Selain Adi, dua orang rekannya yang ikut membabat hutan juga menderita penyakit yang sama. Satu orang meninggal dunia, dan satu orang lainya tidak diketahui rimbanya. Namun sebelum hilang, warga Desa Podorejo ini juga dianggap tidak waras.
Mansyur, keponakan Adi, mengatakan bahwa pamannya langsung dibawa pulang ke kampung halaman begitu keluarga mendengar dia menderita sakit di perantauan.
“Dibawa pulang sekitar tahun 1973. Pada saat pertama, emosinya tidak terkendali. Selain ngoceh sendiri, masih sering mengamuk,“ ujarnya.
Kondisi ekonomi yang terbatas membuat keluarga tidak bisa banyak memberikan perawatan medis. Dan karena kondisi kejiwaannya membuat Adi berbahaya bagi masyarakat, keluarga memutuskan untuk memasungnya.
Sumber: (Okezone)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here