
Oleh:
Muh. Akbar Fhad Syahril
Dosen Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare
SMARTNEWSCELEBES.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru mengenai pencemaran nama baik, khususnya dalam konteks Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menandai babak baru dalam perlindungan kebebasan berpendapat di era digital.
Putusan ini bukan sekadar respons atas kegelisahan publik, tetapi juga refleksi mendalam atas kebutuhan demokrasi yang sehat dan modern.
Selama bertahun-tahun, pasal-pasal pencemaran nama baik kerap menjadi momok bagi kebebasan berekspresi. Banyak aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang tersandung kasus hukum hanya karena menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau institusi.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan tergerusnya ruang publik yang bebas dan terbuka, di mana kritik dan perbedaan pendapat seharusnya menjadi vitamin bagi demokrasi, bukan justru dipidanakan.
MK dalam putusannya menegaskan bahwa kritik, terutama yang disampaikan di ruang digital, tidak dapat dipidana hanya karena menimbulkan perdebatan atau kegaduhan di dunia maya.
Kritik yang bertujuan menjaga akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan adalah bagian dari hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi.
Salah satu terobosan penting adalah penafsiran sempit terhadap frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE.
MK menyatakan bahwa pasal ini hanya dapat diterapkan jika korban pencemaran nama baik adalah individu, bukan lembaga pemerintah, institusi, korporasi, kelompok, profesi, atau jabatan.
Dengan demikian, pemerintah dan badan usaha tidak lagi bisa berlindung di balik pasal karet untuk membungkam kritik publik. Langkah MK ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang menempatkan perlindungan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi, sebagai fondasi utama. Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menjamin hak setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
Dari perspektif teori hukum, putusan MK ini mempertegas pentingnya asas lex certa dan lex stricta-bahwa norma hukum harus jelas dan tidak multitafsir. Pasal-pasal yang selama ini dianggap “pasal karet” akhirnya dipersempit maknanya untuk menghindari penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.
Ini sekaligus menjadi koreksi atas praktik penegakan hukum yang kerap menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan.
Putusan ini juga mempertegas prinsip delik aduan dalam kasus pencemaran nama baik. Artinya, aparat penegak hukum hanya dapat memproses laporan jika ada pengaduan dari korban yang merupakan individu, bukan dari institusi atau badan hukum.
Hal ini penting untuk mencegah kriminalisasi atas kritik yang sifatnya institusional. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa putusan ini masih menyisakan ruang perdebatan. Salah satunya adalah belum tegasnya pengecualian terhadap tokoh publik dan pejabat negara sebagai pihak yang dapat mengadukan pencemaran nama baik.
Padahal, dalam teori hukum dan praktik demokrasi, pejabat publik seharusnya memiliki toleransi lebih tinggi terhadap kritik dan bahkan fitnah, karena jabatan mereka melekat pada kepentingan umum.
Dari sisi perlindungan korban, hukum tetap memberikan ruang bagi individu yang merasa nama baiknya dicemarkan untuk menuntut keadilan, baik melalui jalur pidana maupun perdata.
Namun, dengan pembatasan ini, korban institusional harus mencari mekanisme lain, seperti hak jawab atau klarifikasi, tanpa harus membawa perkara ke ranah pidana.
Putusan MK ini juga memberikan pesan moral kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas tanpa batas. Setiap ekspresi harus tetap memperhatikan etika, tanggung jawab sosial, dan tidak merugikan hak asasi orang lain.
Dalam konteks sosial, putusan ini diharapkan dapat memperkuat budaya kritik yang sehat dan konstruktif. Masyarakat didorong untuk aktif mengawasi jalannya pemerintahan tanpa takut dikriminalisasi, sementara pemerintah harus lebih terbuka terhadap masukan dan koreksi dari publik.
Secara politik, langkah MK ini dapat dibaca sebagai upaya merestorasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan sistem hukum nasional. Ketika hukum berpihak pada kebebasan berpendapat, maka demokrasi akan tumbuh subur dan partisipasi masyarakat semakin meningkat.
Dari sudut pandang sosiologis, ruang digital kini menjadi arena utama pertarungan gagasan. Dengan adanya jaminan hukum atas kebebasan berpendapat, ruang digital diharapkan menjadi lebih dinamis, terbuka, dan inklusif, tanpa bayang-bayang represi hukum yang sewenang-wenang.
Putusan MK ini juga menjadi pelajaran penting bagi aparat penegak hukum agar lebih selektif dan proporsional dalam menindak kasus-kasus pencemaran nama baik.
Penegakan hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik, melainkan harus menjadi instrumen keadilan yang berpihak pada kebenaran dan kepentingan umum.
Dari aspek filosofi hukum, kebebasan berpendapat adalah hak kodrati yang tidak boleh dikurangi atas alasan apa pun, kecuali untuk melindungi hak asasi orang lain. Negara wajib hadir sebagai wasit yang adil, bukan sebagai pemain yang ikut-ikutan tersinggung dan melaporkan rakyatnya sendiri.
Putusan ini sekaligus menegaskan bahwa demokrasi bukanlah demokrasi jika kritik dibungkam dan perbedaan pendapat dianggap subversif. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang berani menerima kritik, bahkan kritik yang paling pedas sekalipun.
Dalam konteks global, langkah MK ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara demokrasi maju yang menempatkan kebebasan berpendapat di atas kepentingan kekuasaan. Indonesia kini punya peluang besar untuk menjadi role model dalam perlindungan hak-hak sipil di Asia Tenggara.
Namun, tantangan ke depan tetap besar. Diperlukan konsistensi dalam implementasi putusan ini di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Jangan sampai putusan progresif ini hanya menjadi dokumen indah tanpa daya paksa di lapangan.
Akhirnya, putusan MK ini adalah kemenangan bagi akal sehat dan logika hukum. Di era digital, di mana informasi mengalir tanpa batas, negara harus memilih: menjadi pelindung kebebasan atau menjadi penindas suara rakyatnya sendiri. Dan, sebagaimana adagium klasik para akademisi hukum, “Jika pemerintah terlalu mudah tersinggung oleh kritik, mungkin yang perlu diperbaiki bukan undang-undangnya, melainkan ketebalan kulit para pejabatnya.” Maka, selamat datang di era baru kebebasan berpendapat-di mana kritik bukan lagi musuh, melainkan sahabat demokrasi.