
SMARTNEWSCELEBES.COM, LUWU – Jalur pertigaan Kande Api menuju Pos Bonelemo kembali dipalang oleh sekelompok kecil massa pada Kamis (23/10). Hanya sekitar sepuluh orang yang terlibat dalam aksi tersebut dengan memasang spanduk bertuliskan tuntutan adanya “mafia tanah” dan permintaan agar lahan mereka dikeluarkan dari kawasan tutupan.
Namun di balik aksi kecil ini, publik kembali menyoroti nama Jumiati, sosok yang sebelumnya telah menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagi melakukan tindakan melawan hukum, namun kini kembali mengulang perbuatannya.
Aksi pemalangan ini menarik perhatian karena dilakukan di akses utama masyarakat menuju Pos Bonelemo. Padahal, pada Juli 2025, Jumiati juga sempat melakukan aksi serupa yang kemudian diselesaikan melalui proses hukum. Dalam penyelesaian kasus tersebut, Jumiati secara sadar membuat surat pernyataan berisi pengakuan bersalah atas tindakannya menutup kegiatan operasional PT Masmindo Dwi Area (MDA). Ia juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan siap diproses hukum jika melanggar komitmen tersebut.
Namun kenyataannya, Jumiati kembali muncul di lapangan, kali ini memimpin aksi dengan mengusung narasi lama soal klaim lahan di Desa Ranteballa. Ia mengaku mewakili dua rumpun adat berbeda — Pong Dera dan Pong Titing — atas dua bidang lahan bernomor 286B dan 286C di Dusun Nase. Klaim tersebut memunculkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diwakili oleh Jumiati?
Klaim Sarat Kejanggalan
Berdasarkan hasil penelusuran, klaim yang dibawa Jumiati dinilai penuh kejanggalan. Pertama, dua rumpun adat yang disebut berasal dari silsilah dan wilayah berbeda tanpa hubungan kekerabatan langsung. Kedua, aparat desa memastikan bahwa Jumiati bukan warga asli Ranteballa, melainkan berdomisili di luar wilayah tersebut. Ketiga, klaim atas lahan 286B dan 286C bertentangan dengan hasil identifikasi Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu pada September 2023.
Data resmi menunjukkan bahwa lahan 286B atas nama Marlina termasuk dalam kawasan lahan tutupan, bukan lahan garapan aktif. Sedangkan lahan 286C atas nama Soekrismawati telah dikompensasi secara sah kepada Martinus Salombe, warga Ranteballa pemegang Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa, serta memiliki bukti pengelolaan berupa tanaman kopi dan cengkeh produktif. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa klaim Jumiati tidak memiliki dasar hukum maupun bukti lapangan yang valid.
Pihak rumpun Pong Titing melalui Lewi Titing dan Korri Titing juga menegaskan tidak pernah memberi kuasa atau izin kepada Jumiati untuk mengatasnamakan keluarga mereka. Mereka menyampaikan bahwa relokasi makam leluhur telah dilakukan secara adat dan disepakati bersama seluruh keluarga besar, dengan pendampingan dari pemerintah desa dan pihak PT Masmindo Dwi Area.
Desakan Penegakan Hukum
Ketua Forum Pengawal Investasi (FPI), Muara Salim, menyesalkan tindakan Jumiati yang dinilai telah memprovokasi masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Ini bukan perjuangan adat, tapi pelanggaran hukum yang berulang. Polisi harus bertindak tegas karena Jumiati telah ingkar terhadap surat pernyataannya sendiri,” tegas Muara Salim. (24/10/2025)
Ia menjelaskan bahwa tindakan seperti ini dapat mencederai proses dialog dan mediasi yang selama ini telah dibangun antara pemerintah, masyarakat, dan pihak perusahaan.
“Pemalangan jalan bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mengancam hajat hidup ribuan keluarga yang bekerja di sekitar wilayah operasional PT Masmindo Dwi Area. Jangan sampai segelintir orang yang punya kepentingan pribadi mengorbankan masa depan banyak warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi yang sah,” tambahnya.
Forum Pengawal Investasi mendesak Polres Luwu untuk segera menindak tegas Jumiati sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selain karena tindakan melanggar hukum, Jumiati juga telah menandatangani dokumen resmi yang menyatakan kesediaannya untuk diproses jika mengulangi pelanggaran yang sama.
Dengan munculnya kembali tindakan pemalangan oleh Jumiati dan kelompok kecilnya, masyarakat berharap aparat penegak hukum dapat bertindak cepat dan tegas. Langkah tegas dinilai penting tidak hanya untuk menjaga wibawa hukum, tetapi juga demi stabilitas sosial dan keberlanjutan investasi yang telah memberikan dampak ekonomi positif bagi warga sekitar tambang.
“Hukum harus berjalan agar yang benar tetap terlindungi dan yang salah tidak lagi mengulangi,” tutup Muara Salim.











