Oleh:
Muh. Akbar Fhad Syahril
Dosen Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare

SMARTNEWSCELEBES.COM, PAREPARE – Bayangkan sebuah ruang maya yang selama ini menjadi tempat lahirnya kreativitas, bermekar indah tanpa sekat, kini mulai “diketuk pintu” oleh negara. Tahun 2026 siap menjadi penanda perubahan: negara memandang perlu mengajak ruang sosial digital masuk ke pangkuan aturan kontribusi pendapatan negara.

Tentu, urusan ini tak sekadar tentang menambah saldo kas publik, melainkan menimbulkan pertanyaan mendasar: seberapa adil kebijakan ini dan bagaimana nasib hak digital warga di tengah gelombang perubahan ekonomi?
Transformasi ekonomi digital telah mengubah lanskap kesejahteraan, membuka peluang bukan hanya bagi raksasa bisnis, tapi juga bagi generasi kreator konten, selebgram, youtuber, penggiat tren meme, hingga mereka yang liat menabur inspirasi. Pemerintah, lewat analisis dan inovasi, memandang inilah momen krusial memasukkan pelaku ekonomi digital sebagai bagian dari sistem pendapatan negara.

Pernyataan resmi pemerintah menegaskan bahwa aturan baru ini menyasar mereka yang menjadikan platform digital sebagai sumber penghidupan, bukan sekadar pengisi timeline dengan canda dan kabar ringan. Di balik pemetaan digital, pengawasan berbasis algoritma, serta perhitungan canggih, tetap ada kegamangan klasik: seberapa jauh negara boleh masuk tanpa menodai ruang ekspresi bebas yang telah tumbuh dengan subur?

Fungsi pajak tak sekedar sebagai alat negara meraup dana (fungsi anggaran), tapi juga punya peran untuk mengatur, menjaga stabilitas (fungsi stabilitas), dan menciptakan keadilan sosial melalui distribusi pendapatan. Dalam konteks kebijakan pajak media sosial, keempat fungsi ini saling bergesekan, apakah benar hanya mengejar pendapatan, atau sungguh-sungguh ingin mengatur dan menyeimbangkan kehidupan digital?
Keadilan di sini ibarat benang yang menyatu dan mudah kusut. Negara perlu dana untuk membiayai program publik, tapi pengguna dunia maya bertanya-tanya: adakah batas antara intervensi negara dan hak privat digital? Jika aturan menjadi pagar tinggi, jangan-jangan kreativitas yang sebelumnya membebaskan justru terhimpit dan layu sebelum berkembang.

Para perumus kebijakan menyebutkan, langkah ini juga dipicu oleh perlambatan pemasukan negara di tengah tekanan fiskal. Media sosial dinilai sebagai “ladang baru” yang belum tergarap secara optimal, sehingga perluas basis penerimaan menjadi terdorong kuat. Tetapi, perlu diwaspadai, setiap upaya memperluas dompet negara selalu punya risiko gesekan dan debat tanpa akhir di kalangan masyarakat digital. Forum diskusi daring pun ramai oleh suara pelaku ekonomi kreatif.

Mereka tak menafikan peran negara dalam membangun sistem adil, namun ingin kejelasan dan transparansi soal mekanisme. Pemerintah lantas menjanjikan regulasi pelengkap dan sosialisasi masif agar kebijakan tidak jadi penghambat laju kreativitas yang sudah mekar di jagat digital.

Sebagai bangsa yang mengedepankan inklusi, penyusun kebijakan harus sungguh-sungguh berhitung, bukan hanya demi rupiah di kas negara, tapi juga demi kenyamanan dan eksistensi para penggerak ekonomi digital. Jangan sampai kehadiran negara menghadirkan rasa terasing; warga maya harus tetap menjadi mitra, bukan sekadar objek yang dipungut seenaknya.

Perdebatan kini bergelora: benarkah ruang digital netral, ataukah sudah menjadi pasar nyata yang memang patut dikenai kontribusi? Target kebijakan menyasar pendapatan signifikan, tetapi tetap saja pembelahan bisa terjadi antara mereka yang “menghasilkan” dan hanya sekadar berselancar di linimasa.

Kebijakan negara dalam sejarahnya sering lahir dari kebutuhan menambal celah keadilan. Namun, dalam pelaksanaan, kunci kelancaran terletak pada transparansi dan kecermatan penggunaan teknologi agar tidak melanggar privasi warga digital. Keseimbangan yang dicari bukan membagi beban semata, melainkan menumbuhkan rasa adil dan manfaat bersama.

Lantas, bagaimana pengalaman negara lain yang sudah lebih dulu menarik kontribusi dari ekonomi platform digital? Banyak yang menghadapi efek domino: eksodus kreator ke luar negeri, perubahan pola bisnis, hingga munculnya “jurus khusus” menghindari pungutan. Di sini pentingnya Indonesia banyak belajar, agar kebijakan baru tidak salah arah dan berbuah penyesalan.

Karakter ruang maya juga berbeda,interaktif, lintas wilayah, dan sangat rawan viral. Kebijakan yang lahir harus mengandung empati, jangan sampai negara tampak beringas mengatur ruang yang semestinya tumbuh secara organik justru dari partisipasi dan kebebasan warga digital. Konsistensi logika keberpihakan diuji keras.

Jika mengedepankan pemerataan, berarti fasilitasi dan perlindungan pelaku kreatif digital harus benar-benar nyata, bukan semata kata-kata manis. Negara semestinya tidak cuma menagih, namun juga hadir sebagai fasilitator peluang, agar kreativitas tumbuh tanpa rasa terpasung.
Di sinilah moralitas kebijakan diuji.

Seefektif apapun mekanisme pengumpulan, keelokan ruang digital sebagai taman gagasan jangan sampai berpagar terlalu tinggi. Keadilan mesti nyata: negara memperlakukan warganya sebagai mitra, bukan sekadar subjek pungutan.

Harus diakui, ketahanan ekonomi digital sangat dipengaruhi keberlanjutan aktivitas kreatif. Keseimbangan antara tujuan fiskal dan dukungan pada kreativitas melahirkan lingkungan sehat negara bukan “polisi” melainkan pengayom yang paham napas ekosistem digital.

Publik menanti detail aturan. Transparansi, kejelasan, serta hak atas perlindungan dan keadilan wajib dijamin. Jika mungkin, regulasi dibuat sederhana, bisa dipahami siapa saja, agar kepercayaan pada negara tetap terjaga.
Citra masa depan tergambar penuh warna: ada kreator yang bangga berkontribusi, ada pula yang cemas.

Pemerintah pun akan menghadapi laboratorium sosial, menguji kebijakan dalam wujud nyata manfaat, bukan sekadar deretan angka pendapatan. Rasa kemanusiaan harus terus dihidupkan. Dialog tidak boleh macet, keluhan dan kritik warga maya wajib didengar. Ruang dengar dan sikap responsif terhadap keresahan warganet menjadi tonggak vital keberlanjutan aturan.

Pada hakikatnya, keadilan tumbuh dari rasa dihargai dan dilindungi. Negara ingin mengambil, negara juga harus menjadi pengayom semua talenta digital, baik yang baru bertunas, maupun yang telah menjulang raksasa.Kebijakan ini akan menjadi barometer baru relasi negara dan masyarakat digital.

Kontrol proporsional, empati, serta keberlanjutan kreativitas harus seiring sejalan. Jangan sampai digitalisasi jadi alasan menambah saja beban baru, alih-alih menjadi peluang membangun kebersamaan.

Dan, seperti biasa, ribuan kata sosialisasi dan seminar daring bisa lebih cepat “dikalahkan” meme satire netizen. Negara ini bukan hanya butuh kas yang penuh, tapi warganet yang bahagia.

Kalau nanti semua terlalu sibuk jadi penagih, jangan-jangan malah dicoret dari daftar follower. Trend topic-nya ganti: #UnfollowNegara sebuah satire yang, siapa tahu, lebih efektif menata ulang kebijakan daripada dokumen setebal laporan fiskal!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here