SMARTNEWSCELEBES.COM, MALANG – Penyerang Arema FC, Abel Camara menceritakan kesaksiannya kepada media asing, saat kerusuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10) malam.
Sepanjang Minggu hari ini, pemberitaan mengenai tragedi Kanjuruhan Malang mengguncang dunia.
Banyak pihak dari berbagai belahan dunia menunjukkan empati dan duka mendalam atas insiden yang menewaskan 187 orang itu, dan ratusan lainnya luka-luka.
Tragedi yang terjadi usai pertandingan pekan ke-11 BRI Liga 1 2022/23 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Laga bertajuk Derby Jatim (Jawa Timur) itu dimenangkan Persebaya dengan skor 3-2. Abel Camara sendiri mencetak kedua gol Singo Edan.
Namun beberapa saat setelah pertandingan berakhir, kerusuhan terjadi. Gas air mata yang ditembakkan pihak kepolisian membuat para suporter di lapangan dan tribun panik.
Semua menjadi kacau, saling berdesakan. Banyak yang terluka bahkan ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Termasuk dua anggota polisi.
Kepada media Portugal, Mais Futebol, Camara menceritakan apa yang ia alami sebelum dan sesudah Derbi Jatim itu.
Striker 32 tahun asal Guinea-Bissau itu benar-benar melihat bagaimana orang akhirnya meninggal di depan mata sendiri.
‘Ini adalah derbi yang sudah lama, dan selama seminggu sudah terasa di seluruh kota (Malang) bahwa itu adalah pertandingan dengan lebih dari tiga poin,” kata Camara mulai menceritakan Derby Jatim yang berakhir tragis itu.
“Mereka bilang ini adalah pertandingan hidup dan mati, bahwa kami bisa kalah di setiap pertandingan kecuali yang ini,”
“Ada ketegangan di udara. Setelah kami kalah, kami pergi untuk meminta maaf kepada para penggemar. Mereka mulai memanjat pagar, pembatas, lalu kami pergi ke ruang ganti,” lanjutnya.
“Sejak saat itu kami mulai mendengar teriakan, tembakan, orang saling dorong.”
“Kami menampung orang-orang di dalam ruang ganti yang terkena gas air mata, dan meninggal tepat di depan kami.”
“Kami memiliki sekitar tujuh atau delapan orang yang akhirnya meninggal di ruang ganti,” paparnya.
Camara mengakui bahwa dirinya benar-benar terguncang dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan.
Tim tidak bisa langsung pulang meninggalkan stadion, karena situasi di Kanjuruhan setelah 90 menit berakhir adalah sebuah bahaya.
“Kami harus tinggal di sana selama empat jam sebelum mereka berhasil mendorong semua orang menjauh.”
“Ketika kami pergi, ketika semuanya lebih tenang, ada darah, sepatu kets, pakaian di seluruh aula stadion.”
“Ketika kami meninggalkan stadion dengan bus, ada mobil sipil dan polisi yang terbakar, tetapi kami memiliki perjalanan yang mulus ke pusat pelatihan kami, kami mengambil mobil dan pulang.”
“Sekarang kami di rumah, menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi,” tutupnya.
Sumber: (pojoksatu)